Haloha!

Kali ini gue bakal ngereview film yang masih anget-angetnya. Ibarat kue, baru keluar dari kukusannya (maklum gak punya oven). Filmnya baru tayang perdana sedangkan gue nontonnya seminggu kemudian.


Okay, memang agak sedikit telat. Tapi lebih baik terlambat daripada nggak sama sekali, kan? #beladiri.

Gue langsung to the point aja yah. Rugi juga basa-basi palingan lu bakal scroll-scroll ke bawah *ngeluh terooos*.

Film Susah Sinyal merupakan film kesekian besutan Ernest Prakarsa. FYI, Ernest merupakan seorang Stand Up Comedian yang berhasil memenangkan kompetisi di sebuah stasiun TV Nasional. Setelah itu ia mulai dikenal sebagai penulis buku, sutradara, dan juga AKTOR.

Jika melihat bentukannya semacam doi, tentu saja dia terlalu ganteng hanya untuk berkarya di belakang layar, ya kan sist? Wajar dong kalau doi cukup sering muncul di frame film garapannya sendiri.

Ayo tebak, yang manakah Koh Ernest?
Pasca kesuksesan film "Cek Toko Sebelah" yang diliris tahun lalu, Ernest dihadapkan pada tantangan selanjutnya : menggarap film yang harus mengungguli atau paling nggak menyamai keberhasilan karya sebelumnya.

Gue jadi Koh Ernest pasti bakal tertekan juga. Gue pasti bakal ngepost foto di instagram dengan kepsyen "Daun yang terbang tidak akan pernah mengkhianati angin".

Sumber : di sini
Setelah ditunggu-tunggu akhirnya movie ini tayang di bioskop. Gue nonton di Denpasar Cineplex dua hari setelah natal jadi dapet harga reguler Rp 30.000. Informasi ini gue anggap penting buat kalian yang lagi mampir di Bali dan ngerasa tiket nonton di Bali mahal membahana. Padahal sebenarnya ada juga tempat nonton yang murce di Bali.

Gue nonton sama adik gue dan membuat orang lain bakal mengira gue lagi jalan sama brondongan. Secara, gue ama adik gue nggak ada mirip-miripnya (adik gue cowok, tinggi, kurus mendekati kerempeng, kulit putih). Sedangkan penampakan gue adalah kebalikan 180 derajat dari semua ciri-ciri adik gue di atas.

Film dimulai dari grafik seperti slide show foto-foto mengenai perjalanan kehidupan seorang Ellen Tirtoatmodjo (Adinia Wirasti) mulai dari kecil, kuliah, menikah, lalu punya anak.

Diceritakan kalau Ellen ini pernah gagal dalam berumah tangga, alhasil doi menjadi seorang single mom yang berjuang sendiri menghidupi keluarganya. Ia bekerja sebagai seorang lawyer yang sakses. Karena sifatnya workaholic membuatnya jarang berkomunikasi dengan anggota keluarga lainnya, terutama dengan Sang Anak, Kiara (Aurora Ribero).

Begitu karakter Ellen ini muncul di layar, muncul perdebatan sengit di sisi sebelah kanan gue, yang mana dihuni oleh pasangan muda belia. Mereka menerka-nerka "ini perempuan pernah main di film bla blabla bukan?". Sedang yang satunya membantah, memberikan argumen yang berbeda.

Di saat itulah gue rasanya pengen negur tingkah mereka yang berisik.

"Woy, itu Adinia Wirasti yang main di Ada Apa Dengan Cinta, dasar milenials!". *malah ikutan debat*

Ngomong-ngomong soal Adinia Wirasti, gue kok ngerasa ini cewek makin tua makin jadi ya. Dulu waktu gue nonton AADC 1 (iya, gue angkatan tuir, puas lo?) Adinia serasa nggak menarik buat gue. Trus sewaktu dia muncul bersama babang Nicolas Saputraku tersayang (yap! gue orangnya suka halu) di film "Tiga Hari untuk Selamanya", gue sempet ngerasa kenapa harus Adinia Wirasti sih yang main.

Mana ada adegan kontroversial, yakni adegan bikin dedek antara babang Nico dengan Adinia (yang merupakan KLIMAKS dari film tersebut).

Aduh, maaf gue jadi salah fokus ngomongin film lain. Back to Susah Sinyal!

Selama ini, Kiara tumbuh dewasa di bawah asuhan Sang Nenek, ibu kandung Ellen, (diperankan oleh Niniek L Karim). Di awal film tokoh nenek mengambil cukup banyak porsi bersama cucunya. Sedangkan muncul suasana ketidakakraban antara ibu dan anak di sini.

Hingga suatu saat, nenek Kiara harus kembali ke hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Di sinilah baru dimulai konflik yang sebenarnya. Dalam keadaan masih berduka, Ellen mesti membesarkan Kiara seorang diri, yang sebetulnya udah gede sih, kira-kira udah SMA. Cuma kebetulan anaknya punya sifat keras dan suka memberontak yang bikin Ellen jadi kesulitan menghadapi kelakuan Sang Anak.

Atas saran dari seorang Guru BP, Ellen akhirnya mengajak Kiara untuk pergi berlibur ke luar kota. Kiara menyanggupi keinginan ibunya, meskipun dese awalnya kaya keliatan males gitu bakal liburan berdua doang ama nyokapnya.

Akhirnya, Pulau Sumba menjadi destinasi wisata pilihan duo ibu anak ini. FYI, di tempat ini sangat susah buat nemuin sinyal. Di sini gue baru ngerti maksud judul film Koh Ernest ini. Pemilihan Sumba sebagai setting film menurut gue udah pas banget. Tempatnya emang betul-betul indah sehingga kita dimanjakan dengan penampakan panorama alam Sumba beserta kultur penduduk asli di sana. 

Film ini rasanya bakal memunculkan sebuah energi positif buat menarik minat kita berwisata ke Indonesia Timur. Ya, daripada syutingnya di luar negeri terus penduduk asli sana entah kenapa bisa berbahasa Indonesia.



Selama liburan, Ellen dan Kiara mulai saling membuka diri satu sama lain. Ellen baru tahu kalau anaknya seorang selebgram yang full proyek endorsan. Si Ellen pun mulai suka curhat ke nyokapnya, terutama soal cita-citanya buat menjadi seorang penyanyi.

Oke, sampai di sini, filmnya kedengerannya bikin boring, kan? Tapi sebetulnya scene demi scene di sini juga diselingi unsur-unsur guyonan. Baik melalui sekedar celetukan atau tingkah laku para pemainnya.

Seperti film Ernest lainnya, film Susah Sinyal juga bertabur bintang cameo. Sebut saja Giselle dan Gading yang meranin tokoh sepasang suami istri yang hendak bercerai. Terus ada Jerinx SID dan juga Andien yang berperan sebagai juri kontes menyanyi tempat Kiara menguji bakatnya.

Terus yang nggak kalah asik, kemunculan Sky, anaknya Koh Ernest yang meranin sebagai.... Kalau yang ini gue nggak boleh spoiler soalnya adegannya Si Sky ini bikin spot jantung. Mirip seperti kehadiran Kaesang di film Cek Toko Sebelah, pantang buat dibocorin.

Ada juga pemeran CTS yang muncul lagi di Susah Sinyal, misalnya aja yang meranin sebagai bapaknya Ernest di CTS, Chew Kinwah sebagai Koh Chandra. Si Koh Chandra ini ceritanya jadi aki-aki yang punya sugar baby seorang penyanyi dangdut (Selfie KDI) dan mereka juga lagi liburan di hotel tempat Ellen menginap.

Ada Asri Welas yang lagi-lagi meranin sebagai perempuan dengan tingkah laku ajaib tapi selalu memberikan petuah-petuah bijaque.

Ada Valerie Thomas jadi cewek bule yang nggak tahu apa itu Tape Ketan. Ada muka-muka tampan menggoda iman seperti Darius Sinathrya, trus ada wajah pendatang baru yaitu Eddy Maliq Meijery yang sukses bikin tante suci gemyeeees.

Kehadiran beberapa stand up comedian di sini juga makin menasbihkan film ini sebagai film komedi yang sukses. Gue absen nih mereka siapa aja : Ge Pamungkas, Aci Resti, Dodit, Abdur, Arie Kriting, Arif Didu, Acho, Soleh Solihun, dan masih banyak lagi.


Lawakan yang mereka tawarkan juga fresh dan sering kali menyinggung isu-isu kekinian. Misal nih, ada adegan Si Giselle diwawancara wartawan. Mulanya ia cuma diserbu pertanyaan tentang kisah perceraiannya. Eh, nggak taunya ada salah satu wartawan malah bertanya : 

"MBAK PERCAYA DENGAN TEORI BUMI DATAR???"

Sumber : di sini
Dan dengan dudulnya Giselle menjawab dengan lugas dan tegas : "Jelas, dong saya percaya". Kemudian terjadilah perdebatan sengit antara para wartawan yang pro bumi datar dengan yang pro bumi bulat. 

Adegan yang menurut gue bangsy*aat. Serta sukses membuat seisi bioskop ketawa.

Selain banyak adegan yang bikin terpingkal, ada juga beberapa scene yang dimaksudkan sebagai scene yang mengharubiru. Nah, di sinilah yang cukup mengganjal buat gue. Pasalnya, konflik antara ibu dan anak macam Si Ellen dan Kiara nggak pernah ada di hidup gue.

Jadi delivery emosinya nggak nyampe di gue yang nangis berlinang air mata pas nonton CTS tahun lalu. 

Namun, sekali lagi bukan karena akting pemain-pemainnya nggak bagus. Kualitas seni peran mereka nggak usah ditanya deh. Bahkan kesan nggak solid antara ibu dan anak ini terasa natural banget. Jangan-jangan nih Adinia Wirasti sama Aurora Ribero benar-benar baru dipertemukan pas syuting, jadi mereka terasa nggak akrab samsek.

Ngomongin film nggak cuma soal tampilan visual aja, tapi juga audionya. Ernest sekali lagi menggandeng The Overtune buat ngisi soundtrack di filmnya kali. Plus ada kemunculan sedikit lagu Stars and Rabbit. Sayangnya porsinya sedikiiit banget. Bahkan gue yang emang sengaja nonton sampai lampu bioskop dihidupkan nggak menemukan lagi lagunya mereka yang "Man Upon the Hill".

Film ini ditutup dengan ending yang bahagia. Ellen dan Kiara berhasil dekat selayaknya sepasang ibu dan anak. Klimaks dari film ini, yaitu percakapan antara Ellen dan Kiara mengenai alasan kenapa Ellen pisah sama suaminya.

Ceritanya Ellen dulu nikah muda dan lantas dikhianati Sang Suami. Di situlah dia baru sadar kalau dia punya banyak mimpi-mimpi yang harus diraih, salah satunya mengejar pendidikan dan karir. Ketika udah berhasil menggapai impian itu, Si Ellen justru terhanyut ama situasi dan nggak sadar kalau tahu-tahu Si Kiara udah gede aja.

Ya, gue di sini bukan perempuan yang udah menikah, ya. Jadi gue nggak tahu apakah ambisi kita terhadap pekerjaan bisa bikin kita mengabaikan arti penting seorang anak. Bisa jadi emang kisah seperti Ellen ini emang jamak di luar sana. 

Tapi, sekali lagi, konflik semacam itu nggak atau setidaknya belum ada di kehidupan gue.

Jadi kesimpulannya, filmnya bagus atau nggak? Menurut gue sih layak tonton. Tapi saran dari gue jangan membawa ekspetasi berlebih semacam berharap filmnya lebih cemerlang dari pendahulunya.

Oke gitu aja ya review plus spoiler-spoiler maut dari gue. Btw, gue punya temen yang justru baru yakin mau nonton kalau udah puas baca-baca spoiler macam gini.

Jangan-jangan lu juga gitu kaaan? we ka we ka we ka.



1 Comments

  1. Aku juga generasi aadc 🤣🤣 mau nonton film ini belum kesampean.. benerrr, karmen makin ksini makin wanita ya 😁 Kereen

    ReplyDelete

Senang sekali kamu bisa mampir ke postinganku, tapi jangan lupa tingggalkan jejak komentar di bawah ya :)